Special Registration

Date:  Sat Feb 1, 2003  3:06 pm
Subject: Imlek Libur, tapi masih ada Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
 
Imlek Libur, tapi Masih Ada Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
 
Gong Xi Fa Cai (Selamat Tahun Baru, Semoga Sejahtera). Sabtu (01/02) ini, masyarakat Tionghoa tengah bersuka cita merayakan Imlek. Namun, Konghucu belum diakui sebagai agama. Dan, warga Tionghoa masih mengalami diskriminasi hingga kini.
 

Tahun ini masyarakat Cina kembali bisa merayakan Imlek dengan leluasa. Datanglah ke komunitas Tionghoa, seperti di kawasan Glodok dan Kota, Jakarta atau daerah pecinan lainnya. Ada kemeriahan pesta dengan segala asesori berwarna merah. Ada bagi-bagi ang pao (uang) dan tidak ketinggalan kue keranjang. Sementara di kelenteng, bau hio bertebaran di tengah atraksi barong sai dan liong. Inilah kado dari Presiden Megawati yang telah menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional sejak 2002. Sebelumnya, Abdurrahman Wahid lebih dulu memberikan kado istimewa: Keppres No.6/2000. Keppres ini bukan hanya membebaskan atraksi barongsai dalam berbagai upacara, melainkan juga mencabut Inpres No.14/1967. Inpres No.14/1967 yang dikeluarkan Soeharto ini melarang segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat secara terbuka.

Namun, apa yang terjadi sebenarnya baru simbolik dan pada wilayah permukaan. Pasalnya, belenggu diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa--masyarakat minoritas, tapi menguasai ekonomi nasional--belum dihapuskan sepenuhnya. Buktinya, masyarakat Cina tetap memperoleh perlakuan-perlakuan "khusus" yang bertentangan dengan HAM, khususnya berkaitan dengan catatan sipil.

Konghucu belum diakui sebagai agama

Meskipun Imlek sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional, Konghucu--sebagai agama mayoritas warga Tionghoa--belum diakui sebagai agama di Indonesi. Hal ini dikeluhkan oleh Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu (Matakin) Budi S. Tanuwibowo. Ia mengakui bahwa hingga saat ini pemeluk agama Konghucu masih mendapat perlakukan diskriminatif.

Usai pertemuan antara Panitia Tahun Baru Imlek dengan Wakil Presiden (Wapres) Hamzah Haz (28/01), Budi menyatakan bahwa masih ada kendala-kendala teknis di lapangan yang mengganggu hak-hak sipil pemeluk Konghucu. Pasalnya, pemerintah belum mengakui Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia. Buntutnya, penganut Konghucu sering kesulitan untuk sekadar menulis agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya. "Kami sulit mencantumkan agama di KTP. Jadi selama ini agama kami (di KTP) dikosongkan atau diisi dengan agama lain. Bila ingin menikah tidak bisa di catatan sipil," cetus Budi. Padahal, menurutnya, jumlah penganut Konghucu di Indonesia kurang lebih sekitar 1,5 juta hingga 2 juta. Tampaknya, ketidak-jelasan posisi Konghucu ini semula berpangkal pada Surat Edaran (SE) Mendagri No.477/75054 tahun 1978. SE Mendagri ini memberikan petunjuk bahwa untuk pengisian kolom agama pada KTP, hanya ada lima agama resmi di Indonesia. "Petugas sering beralasan di komputer cuma tersedia kolom untuk lima agama," tandas Wahyu Efendy dari Gerakan Perjuangan Anti-Diskriminasi (GANDI).

Padahal, SE Mendagri ini telah dicabut dengan SE Mendagri No.477/805 tahun 2002. Meskipun pedoman hanya lima agama tidak berlaku lagi, pada prakteknya birokrat punya alasan untuk tidak menjalankan surat edaran yang baru. Misalnya, karena belum ada petunjuk pelaksanaannya (juklak). "Ketidakjelasan aturan" ini akhirnya menelan korban. Misalnya, kasus pencatatan pernikahan Konghucu pada pasangan Charles-Suryawati dari Surabaya pada 2001. Akte pernikahan pasangan ini sampai saat ini tidak diberikan oleh Kantor Catatan Sipil (KCS) karena terbentur masalah "Konghucu bukan agama resmi negara".

SKBRI jadi momok

Peraturan yang paling menjadi momok bagi kelompok peranakan Tionghoa adalah Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia alias SBKRI. Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra sebenarnya sudah menegaskan, Departemen Kehakiman dan HAM tidak akan lagi mengeluarkan SBKRI. Bahkan, Yusril mengemukakan bahwa bukti kewarganegaraan itu cukup kartu tanda penduduk (KTP) dan akte kelahiran.

Sesuai dengan UU No. 62/1958 tentang Kewarganegaraan RI, SBKRI diperlukan, tapi bersifat fakultatif bagi yang memerlukanya. Padahal, keefektifan SKBRI telah dicabut melalui Keppres No.56 Tahun 1996. B.J. Habibie pun telah mengeluarkan Inpres No.4 Tahun 1999 yang menghapuskan SBKRI dan izin pelajaran Bahasa Mandarin. Menurut Keppres itu, bukti kewarganegaraan seseorang cukup dibuktikan dengan menggunakan kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), atau akta kelahiran. Sayangnya, Inpres tersebut selama ini tidak dilaksanakan. Buktinya, berbagai instansi tetap mensyaratkan SBKRI, seperti KCS, kelurahan, dan kantor imigrasi. Boleh jadi, urusan SBKRI jadi alot karena menyangkut duit. Maklum, pengurusan SBKRI tergolong mahal, sehingga bisa jadi 'obyekan' yang lumayan. Rosita Noer dari Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB) dalam suatu diskusi mengungkapkan SBKRI mengusik rasa keadilan dan menyuburkan korupsi terus menerus.

SBKRI memang membuka peluang gemuk untuk korupsi, karena banyaknya mereka yang mengurus SKBRI. "Dalam memo surat biasanya dinyatakan akan dijawab pada kesempatan pertama. Tapi kesempatan pertama itu bisa sampai lima belas tahun," kata Rosita. Kalau urusan mau cepat, ya UUD...Ujung-Ujungnya Duit. Makin gede duitnya, urusan makin cepat rampung. Wahyu Efendy berpendapat bahwa selain tidak efisien, masalah SKBRI menimbulkan diskriminasietnis. "Karena, prosesnya diskriminatif dan berbau rasis," cetusnya kepada hukumonline.

Ketidakadilan negara

Molornya pengururusan SKBRI pernah dikeluhkan Hendrawan, pebulutangkis andalan nasional. Menjelang persiapan ke Piala Thomas di Ghuangzou, China, pada Mei 2002, juara dunia tunggal putra tahun 2000 itu masih memikirkan pengurusan kewarganegaraan yang telah terkatung-katung sejak November 2001. Ia juga mengungkapkan bahwa SBKRI kakak kandungnya yang sudah 20 tahun ditunggu sampai kini belum selesai. Ironis, Hendrawan yang ikut jadi pahlawan untuk merebut kembali Piala Thomas ke bumi pertiwi--malah belum diakui sebagai warga negara Indonesia, karena dia keturunan Cina! Setelah Presiden Megawati turun tangan langsung, barulah Hendrawan dan istrinya memperoleh SBKRI. Ketidakadilan yang dialami Hendrawan juga dialami oleh putra bangsa--pebulutangkis yang telah mengharumkan nama negara di pentas dunia--seperti Tong Sin Fu, Tan Joe Hock, Ivana Lie, dan Halim karena mereka keturunan Cina. Apalagi, terhadap peranakan Tionghoa yang tidak memiliki prestasi apa-apa.

Selain soal SBKRI, warga Tionghoa banyak menghadapi masalah ketika berurusan dengan KCS. Mestinya tidak ada pembedaan antara WNI dan WNA," kata Wahyu. Bahkan dalam urusan pendidikan pun, menurut Wahyu, peranakan Tionghoa diperlakukan sebagai orang asing. Belum lagi syarat Surat Pelaporan Kewarganegaraan RI (K1) bagi warga Tionghoa di Jakarta. "Instruksi gubernur samar-samar. Biayanya malah membengkak seenaknya sendiri," kata Eddy Sadeli dari Lembaga Penelitian dan pengabdian Masyarakat Tionghoa di Indonesia kepada hukumonline. Namun, menurut Eddy masalah yang segera dituntaskan adalah ketidakjelasan nasib sekitar 60.000 warga Tionghoa yang tidak memiliki kewarganegaraan. "Mereka tinggal sudah puluhan tahun dan beranak pinak di sini, seperti di kawasan Kemayoran, Jakarta, tapi tidak memiliki kewarganegaraan," kata Edy.

Warga peranakan Tionghoa itu adalah korban perjanjian bilateral RI-RRC berdasar Peraturan Presiden No.10/1959. Mereka tidak tidak terangkut ke "tanah leluhurnya", tapi tidak juga diberi kewarganegaran Indonesia. Mereka yang masih jadi korban diskriminasi rasial ini pada hari ini masih bisa mengucap "Gong Xi Fa Cai" sambil berharap ada kejelasan status kewarganegaraannya. (Rep)

Source: HukumOnline.com